(Dan sastra indah-utama, berapakah jumlahnya? Kitab Al-Qur'an,
berapakah sastranya? Perempuan dan laki-laki utama, ada berapakah
jodohnya? Dan berapakah jumlah yang tumbuh?)
Dalam ketiga bait ini, Ki Ageng memberikan tiga pertanyaan, yang
diharapkannya tiga pertanyaan itu dapat dijawab dengan pasti dan tegas
sebagai 'satu'. Jadi, walaupun Ki Ageng bertanya 'berapa', sebenarnya
yang ia inginkan ialah jawaban 'angka satu'. Jika ia bertanya 'berapa
jumlah sastra indah-utama?', maka tentulah yang ia harapkan dijawab
dengan 'satu', yakni 'Sastra Mistikal', sastra yang tengah Ki Ageng Selo
sendiri karang. Serat Pepali ialah karangannya sendiri yang mengandung estetika sastrawi yang agung, sekaligus mengandung ajaran esoteris yang amat rahasia.

Jika Ki Ageng Selo bertanya 'berapa sastra yang ada dalam Al-Quran?',
maka jawaban yang ia minta pasti ialah 'satu', yakni 'Allah'. Bagi kaum
mistikus, 'Allah' adalah entitas estetis yang Maha Indah, yang
keindahannya di atas keindahan fisikal rendahan. Sungguh berbeda dari
semua obyek keindahan yang mengilhami semua 'seniman rendahan' dalam
karya-karya mereka (seperti lukisan-lukisan naturalistik atau sastra
mimetik), kaum mistikus mengambil 'Allah' sebagai obyek keindahan yang
Maha Indah, sehingga lahirlah puisi-puisi mistikal, syair-syair
mistikal, novel-novel mistikal, dan cerpen-cerpen mistikal yang
kata-katanya sangat mengandung estetika agung. Ini sesuai dengan suatu
adagium terkenal di kalangan para Sufi: Innal-laaha jamiilun, yuhibbu-l-jamaal (Allah itu Maha Indah, yang mencintai keindahan).
Jika Ki Ageng Selo bertanya 'perempuan dan laki-laki utama, ada
berapa jodohnya?', maka jawaban yang ia minta pastilah 'satu'. Kata-kata
'perempuan' dan 'lelaki' disini tidaklah dimaksudkannya untuk menyebut
pasangan jenis kelamin. Tapi, keduanya ialah simbol-simbol realitas.
Dalam Filsafat Taoisme, realitas terbagi menjadi dua, Yin dan Yang. Yin adalah 'jodohnya' Yang; Yin tidak memiliki jodoh selain Yang. Dalam Sufisme begitu pula. Realitas ada dua: Anaa (Saya) berjodoh dengan Al-Haq (Allah), atau dalam ajaran Mohammad Iqbal seorang filsuf Pakistan, khudi (ego dengan 'e' kecil) berjodoh dengan Khudi
(Ego dengan 'e' besar). Ki Ageng mungkin hendak menjelaskan dua
realitas ini dengan simbol 'perempuan' dan 'lelaki'. 'Perempuan' mungkin
merupakan simbol 'makrokosmos' (Alam Besar) dan 'lelaki' mungkin simbol
'mikrokosmos' (Alam Kecil). Makrokosmos tentu saja tidak berjodoh
selain dengan mikrokosmos.

Jika Ki Ageng Selo bertanya 'lalu berapa jumlahnya yang tumbuh?',
maka lagi-lagi jawaban yang dimintanya ialah 'satu'. Dari dua realitas
yang berbeda itu, makrokosmos dan mikrokosmos, akan tumbuh dan
berkembang apa yang dinamakan 'kesatuan' (union). Dua menjadi
satu. Dualitas menjadi unitas. Dualitas yang saling berkembang, akan
tumbuh menjadi unitas. Makrokosmos (yang disebut 'agama' sebagai
'Allah') dan mikrokosmos (yang disebut 'agama' sebagai 'manusia'), jika
keduanya berkembang dan tumbuh (dalam artian, saling mendekatkan diri),
maka akan berbaur dan menyatu. Kaum mistikus memiliki cara khusus untuk
'menyatu dengan Allah' itu, yakni dengan olah-rohani (mistisisme).
'Kesatuan realitas', yang juga di Jawa sering disebut sebagai manunggaling kawulo gusti dan yang sering disebut Filsafat Eksistensialisme sebagai dialog Aku-Engkau (I-Thou), akan tercapai setelah dualitas itu dapat diatasi lewat jalur rohaniah (jalan mistikal).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar